Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِا لدِّيْنِ ۗ
"Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?"
فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَ ۙ
"Maka itulah orang yang menghardik anak yatim,"
وَ لَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَا مِ الْمِسْكِيْنِ ۗ
"dan tidak mendorong memberi makan orang miskin."
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَ ۙ
"Maka celakalah orang yang sholat, [sambung ke ayat 5, yaitu orang yang lalai terhadap sholat]"
الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَا تِهِمْ سَاهُوْنَ ۙ
"(yaitu) orang-orang yang lalai terhadap sholatnya,"
الَّذِيْنَ هُمْ يُرَآءُوْنَ ۙ
"yang berbuat riya',"
وَيَمْنَعُوْنَ الْمَا عُوْنَ
"dan enggan (memberikan) bantuan."
(QS. Al-Ma'un 107: Ayat 1-7)
B. Penjelasan
Al-Ma`ûn menurut bahasa berasal dari kata `awn (عون) yang berarti bantuan dan pertolongan.
Pada dasarnya Q.S. al-Mâ`ûn ini menganjurkan umat Islam untuk gemar memberi santunan dan bantuan kepada yang membutuhkan dari kalangan dlu`afâ’ dan mustadl`afîn, bahkan ibadah sosial ini
dikategorikan sebagai indikator penting bagi keimanan seseorang.
Dan di dalam surat ini keyakinan yang benar terhadap hari pembalasan merupakan menifestasi dari kesempurnaan iman seseorang yang diharapkan mampu mempengaruhi semua kepribadian dan tindakannya.
Secara garis beras, sebagaimana yang disebutkan oleh Ahmad Musthafa al-Maraghi bahwa orang yang mendustakan hari akhir itu ada dua macam:
Pertama, orang yang merendahkan martabat dlu`afâ` dan menyombongkan diri karena merasa lebih mulia
dan lebih tinggi derajatnya.
Kedua, orang yang pelit dan susah membelanjakan hartanya untuk membantu fakir miskin, serta tidak mau menguhasakan pengadaan bantuan atau
menganjurkan orang-orang kaya untuk memberikan santunan kepada mereka yang membutuhkan.
Sayyed Sabiq di dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah menyebutkan bahwa tidak kurang dari 24 ayat di dalam al-Quran yang menyebutkan perintah zakat bersamaan dengan perintah shalat.
Ini menunjukkan bahwa menyantuni orang yang sering disebut dengan ibadah sosial tidak kalah pentingnya dengan shalat. Termasuk di Q.S. al-Mâ`ûn ini, jumlah ayat yang berbicara tentang ibadah sosial lebih banyak dari ayat yang berbicara tentang ibadah mahdlah.
Dalam rangka mengembangkan budaya saling membantu , rasulullah saw banyak memberikan motivasi kepada para sahabatnya tentang pentingnya menyantuni kaum dlu`afâ’ serta kedudukan dan pahala orang yang suka membantu orang lain yang membutuhkan.
Sabda rasulullah yang diriwayatkan oleh imam Bukhari ini:
Pada kesempatan lain imam Bukhari, imam Abu Dawud dan yang lainnya menjelaskan maksud hadits di atas dengan ungkapan bahasa yang lebih jelas;
Tangan di atas adalah pemberi (infak), dan tangan di
bawah adalah peminta-minta.
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari hadits rasulullah saw di atas, di samping secara moral menganjurkan kita untuk gemar memberikan santuan kepada yang membutuhkan:
Pertama, hadits rasulullah saw ini menjelaskan bahwa derajat orang yang memberi itu lebih tinggi dari kedudukan orang yang meminta, baik di dunia maupun di akhirat.
Kedua, bahwa yang wajib mendapat perhatian utama untuk disantuni dan dipenuhi kebutuhan hidupnya adalah keluarga terdekat yang menjadi tanggung jawab kita.
Ketiga, hadits ini memerintahkan kita untuk berlaku wajar dan tidak boleh memaksakan kehendak, maka rasulullah saw menganjurkan agar harta yang dikeluarkan untuk santunan merupakan harta lebih setelah kita memenuhi kebutuhan-kebutuhan
kita sendiri.
Keempat, rasulullah saw menganjurkan kita untuk menumbuhkembangkan sifat qanâ`ah; yaitu merasa cukup dengan rezeki yang sudah diberikan oleh Allah kepada kita dan selalu bersyukur.
Sifat qanâah inilah yang mampu menjaga diri untuk berlaku sederhana, dan juga menjaga diri dari budaya meminta-minta.
Silahkan buka link berikut untuk masuk ke materi berikutnya:
Komentar
Posting Komentar